Entri yang Diunggulkan

Duit Pasangan

Sabtu, 15 Juni 2019

Duit Pasangan



Pagi kala itu, Iwan berangkat sekolah dengan begitu sumringah. Padahal kemarin dia baru saja menangis seharian gara-gara ibu tak jadi membelikannya mainan yang ia idam-idamkan. Harusnya, aku saat itu segera sadar, akan keanehan ini.

Sungguh, dia cuman adik lugu yang berada di masa rewel-rewelnya. Walau kerap kali berulah, keimutan dalam dirinya sama sekali tak berkurang. Namun siapa sangka, bocah tak berdosa itu harus meregang nyawa begitu cepat. Dia bahkan dikuburkan dengan sebuah keganjilan. Dua buah lembaran uang 20 ribuan dan beberapa pecahan lain, dikubur bersamaan dengannya.

Menceritakan ini bagiku serasa menyiram luka dengan air garam. Perih rasanya bilamana wajahnya yang pucat terkenang kembali. Matanya yang terpejam tak akan pernah lagi terbuka, dan senyum kala sebiji permen seharga 500 perak itu kuberikan tak akan lagi terulang. Semua hanya karena demam aneh yang tak kunjung reda 3 hari lamanya. Naas, Iwan tak bisa melawan penyakit dadakan ini.

Seperti kataku, dia berangkat sekolah dengan sumriminga pagi itu. Aku yang sudah SMA hanya bisa cemberut. Pasalnya, aku yakin ibu pada akhirnya  membelikan dia mainan lagi. Padahal, kebutuhan keluargan kala itu sedang mepet. 

Mainan seharga 50 ribu harusnya barang yang termasuk tak perlu, mengingat keungan kami yang berada di ujung tanduk. Tanggal sudah tua sementara gaji ayahku belum cair. Jika biasanya semua akan baik-baik saja, hari itu berbeda. Minggu lalu kami baru saja menggelar acara selamatan setelah ayahku membeli motor baru. 

Ironisnya, karena acara itu uang kami akhirnya habis, dan terpaksa menghemat, hingga minggu depan. Pasalnya ibuku adalah tipe orang yang lebih memilih tidak makan, dibanding harus berhutang. Akan tetapi saat kuusut, ibuku ternyata tak pernah membelikan Iwan mainan tersebut. Disinilah keanehan terjadi dimana kutemukan mainan mobil-mobilan yang diidamkan Iwan, tepat seusai acara 3 hari kematiannya. 

Aku bermaksud mengambil buku untuk menghitung peralatan yang kami pinjam, sekaligus mempersiapkan uang kas. Mulai dari piring, gelas, sampai baki yang kami gunakan merupakan milik RW sebelah yang lumrahnya ngamplopin, walau seiklasnya.

Kamarku kala itu penuh tamu lalu kupikir, Iwan pasti punya buku mengingat dia juga anak sekolahan, tepatnya kelas 3 SD. Di sana (kamar Iwan,) kutemukan tas gendong hitam tergeletak di lantai begitu saja. Alangkah terkejutnya aku begitu menemukannya (mainan yang diminta Iwan,) di dalam sana (tas.) Aku sontak berlari, menemui ibuku dan berseru, “ini apa, mak?!”

“Aldi, kamu nemu ini di mana?” beliau balik bertanya.

“Di mana lagi kalau bukan di kamar Iwan?”

“Kamu yang beliin ini?”

“Nggak usah banting setir deh, mak! Aldi mana sanggup, beli mainan semahal ini pake uang saku Aldi!”

“Terus yang beliin ini siapa?”

“Bapak yang belikan itu. Udah, deh! Jangan ribut di sini, malu!” lerai Ayahku.

Saat itu aku hanya bisa diam. Benar yang beliau katakan, malu! Terlebih, ini masih dalam suasana duka. Perdebatan kami seolah menjerumuskan Iwan menuju sebuah perbuatan tercela (ngutil.) Padahal bapak yang belikan itu. 

Harusnya begitu, sampai cerita lain kudengar dari teman sekelasnya.
...

Mundur lagi dua hari sebelum Iwan tiada. Sore itu, Iwan yang ngambek pasca batal dibelikan mainan tak mau beranjak dari kamar. Ayah yang naik pitam lalu memaksa Iwan bersngkat mengaji. Pemandangan itu amat menyedihkan bagiku. Sampai-sampai, aku malu melihatnya. Dengan terus mengusap air mata, Iwan akhirnya berangkat. Sehabis itulah sikap Iwan tiba-tiba berubah.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Nang?” tanyaku pada teman adikku.

“Iwan nemu uang 100 ribu, Mas!” jawabnya.

“Hah!”

Alangkah terkejutnya aku, mendengar itu, tapi di lain sisi. Ini menjelaskan bagaimana mainan itu berada di sana. Iwan sudah berulang kali pergi ke mal, dan kurasa dia tak akan ketakutan bila berangkat ke sana sendirian. Apalagi ditemani oleh temannya. Akan tetapi, ayah sudah berkata kalau dirinyalah yang membelikan Iwan mainan itu.  Dengan praduga yang semakin buruk, aku bertanya lagi, “terus, uang itu dikemanain, Nang?”

Danang tampak ketakutan, lalu kulihat ibunya melotot. Kurasa, dugaanku bila keduanya pergi bersama itu tepat sasaran.

“I-Iwan pergi sama Danang buat beli mainan, Mas!” jawab Danang, bocah yang kutanyai tersebut.

“Astaga, Iwan! Terus gimana, apa kamu juga ikut-ikutan?”

“Enggak kok, Di! Untungnya Danang cuman nemenin doang! Duit Iwan kurang buat beliin danang juga, makanya rencananya mereka baru mau beli keesokannya,” sahut Ibunya Danang.

Aku segera terkenang akan lembaran jang yang dikubur bersamaan dengannya (jenazah Iwan.) Dan hari sesudah itu (Iwan membeli mainan) dia langsung jatuh sakit. Dalam hati, aku hanya bisa bersyukur karena tak perlu ada lagi korban lain.
...

Di sini ane ambil alih, “Duit Pasangan,” begitulah kisah ini dikenal. Sesorang sengaja meletakkan uang dengan pecahan bermacam-macam. Tujuannya cuman satu, mendapatkan tumbal secara instan. Cerita tentang orang-orang yang sakit, bahkan meninggat tiba-tiba usai menikmati uang ini masih terus bermuculan hingga hari ini. Kisah terselubung menyatakan bahwa ini merupakan praktek pesugihan klasik yang masih berlanjut sampai hari ini.

Untung aja ane jarang nemu duit. Lagian sekalinya nemu, besoknya langsung ilang. Nemunya 5.000 ilangnya bisa nyampe 50.000 lagi. Sering ane ngarepin ada benda jatuh yang nongol di depan ane, tapi ada baiknya. Mulai sekarang ane bersyukur karena jarang nemu. Siapa tahu, itu ternyata jebakan batman macam gini? Anjir, Hhh :v

Konon, kita bisa pastiin itu duit pure duit orang apes, atau jebakan batman, dengan cara ngubur semalem duit yang kita temuin. Kalau masih ada atau nggak berubah wujud, berarti itu rejeki nomplok, tapi alau ternyata ilang atau berubah wujud. Berarti ada orang yang ngambil, atau gantiin tuh duit oke barang lainnya, 

Hhh bercanda mbah. ✌
...

“Salam Rempah.”

Selasa, 11 Juni 2019

Doppelganger


Kejadian pertama saya buka di bulan puasa kemarin. Pamanku yang baru pulang merantau dari Palembang tinggal di rumah mertuanya. Sedikit agak jauh dari rumahku. Ketika itu, aku sedang berada di rumahnya untuk sekedar silaturahmi. Pasalnya, sudah bertahun-tahun kami tak saling sapa. Di sanalah kemudian dirinya menceritakan pengalaman mistis ini.
...

Kejadian terjadi selepas maghrib. Aku sedang menenangkan anakku yang paling kecil. Dalam gendonganku, dia akhirnya terlelap dan ibu bisa beribadah dengan tenang. Banyak orang mengapresiasiku karena menjadi ayah yang tekun mengurus anak. Ini sudah jadi rutinitasku sedarj dulu di Palembang sana, mengingat kerja istriku sebagai PNS membuat pembagian tugas kami banyak berbalik, tapi di Jawa. Aku sedikit lebih sibuk karena di sini kerja baruku sebagai sopir juga di mulai. 

Aku duduk di ruang tamu. Anakku yang paling besar berada di kamar sementara Si Kecil baru saja terlelap. Butuh usaha ekstra bagiku untuk menjaga dua anak laki-laki yang sedang rewel-rewelnya. Yang satu soal jajan, sementara yang satunya sedang butuh-butuhnya perhatian orang tua. 

Sebenarnya, mertuaku sempat mengulurkan tangan agar tugas mengurus anak diserahkan saja padanya, tapi setelah mendengar rutinitasku. Wajahnya tampak enggan. Wajar saja, mulai dari cebok, bawa ke kamar mandi, ganti popok, sampai sifat susah makan anakku benar-benar bukan hal yang mudah. Tak pelak, akhirnya aku yang harus mengurus semuanya.

“Maaf Do!” ucap mertuaku.

“Nggak papa kok, bu! Sudah tugas saya. Dian (istriku) kan masih di sana (Palembang) maklum, kalau saya yang harus jaga,” jawabku.

“Baiklah kalau begitu, saya berangkat tarawih dulu, ya! Pintunya jangan di kunci!”

“Oh ya buk, mari saya antar!”

Pada akhirnya, aku membukakan pintu dan mengantarkan mertuaku yang sudah sepuh itu sampai beliau benar-benar aman. Setelahnya, aku kembali ke kamar, membaringkan anakku yang sudah tepar dan bermaksud mengambil minum di situlah hal aneh terjadi. Jelas-jelas aku baru saja membukakan pintu. Lantas, kenapa mertuaku bisa ada di sana(di kamarnya) lengkap dengan mukena dan sajadah? 

Tidak masuk akal! Orang bilang, di bulan puasa setan semuanya di kurung. Lantas, yang kulihat inj apa? Kecuali kalau aku pergi lama. Cuman beberapa menit aku membaringkan anak, tapi di sana (di kamarnya) kulihat mertuaku sedang rukuk. Seketika bulu kudukku merinding. 

Ini bukan kali pertama kejadian ini terjadi. Beberapa tahun yang lalu, baliau juga pernah bertanya padaku, “kapan kamu pulang?” Padahal waktu itu, aku tak pernah pergi kemana-mana. Dia bilang aku belum lama keluar memakai jaket yang biasanya ku kenakan. Padahal, jaket hitam itu ada di lemari.
...

Mungkin ini yang namanya “Medi Rupa.” atau lebih keren (Doppelganger) Sosok hantu yang bisa berubah-ubah menjadi diri kita, atau seseorang yang kita kenal. Ane sendirj pernah mengalami hal serupa dimana pas itu, ane bangun jam 11 malam. Di depan pintu, ane lihat adik ane lihatin ane terus pergi gitu aja. Padahal, dia jelas-jelas lwgi tidur di sebelah ane. Yang ane lakukan saat itu cuma baca doa sebisanya, terus pasang selimut, dan tutup mata dengan bulu kuduk berdiri tegak.

Percaya nggak percaya, puluhan orang ternyata juga punya kisah semacam ini yang bikin ane tergugah ngangkat ini treat. Apa sekarang kalian lagi sama orang terdekat? Lihat dulu baik-baik, pastiin dia bener-bener orang itu. Jangan-jangan... dia itu doppelganger...

~Salam Rempah~

Penthong bag 3



Bunyi kentongan mendentam dari utara, membawa ratusan warga mengarah ke ujung desa, dimana sebuah lahan kuburan berada di sana. Aku memimpin penyergapan, menyudutkan sosok wanita tak waras yang terus memeluk boneka menyeramkan bermata coblong itu.

“Mana Hadi, dan semua anak-anak yang kamu culik, ijah!”

“Penthong! Penthong!” Berulang-ulang wanita dekil itu menyebutnya.

Aku semakin geram, nyaris tanganku menyambar muka nenek peyot itu. Beruntung, sejumlah warga menengahi emosiku. Mak Ijah yang ketakutan memeluk sebuah batu nisan di ujung kuburan yang jadi titik temu kami.

“Sabar, pak! Sabar!” Begitulah mereka coba menenangkanku.

“Sabar jidatmu! Dia ini penculik, tak perlu kalian kasihani lagi manusia biadab ini!” makiku.

“Belum tentu, Mak Ijah yang lakukan.”

“Siapa lagi?” sahut Pak Dirham, “kalu dibiarkan, seluruh anak di kampung bakalan habis jadi santapan kebiadabannya!” lanjutnya.

“Betul itu, betul!” 

Para warga yang murka mendorong sebagian yang coba menengahi. Pada akhirnya, Pak RW beserta polisi dan Kades mengamankan Mak Ijah. Perkumpulan warga dengan serempak menolak keberadaan Mak Ijah. Usai digelandang ke kantor polisi, dia akhirnya diusir dari desa sebab penolakan bergejolak, sampai ke ujung desa. 

Mak Ijah akhirnya pergi, sementara bukti keterlibatan Si Mak Lampir tak jua ditemukan. Semenjak itu pula, kasus penculikan di Kampung Selendang akhirnya berhenti. Akan tetapi, keberadaan Hadi dan Witan juga tak pernah ditemukan.

Beberapa bulan kemudian, datang seorang pria paruh baya ke rumahku. Istriku sedang hamil muda sementara tamu tak diundang itu memaksa masuk. Ia terus berteriak-teriak meminta kehadiranku, sementara aku masih puyeng dengan permintaan ngidamnya yang aneh-aneh. Mulai dari disuruh menggenjot sepeda Pak Kadus, mangga muda, sampai rebusan terong yang jadi permintaan terakhirnya yang belum kesampaian.

Terong bisa kutemukan dengan mudah dengan berjalan sedikit ke ladang tetangga, tapi itu artinya. Aku harus keluar menemui pemilik ladang. Otomatis, pria itu pasti akan menemukanku dan masalah bakalan semakin runyam.

“Kamu tahu, ke mana Mak Ijah sekarang?!” seru pria itu, mencegatku pergi menemui Pak Ilham, tetanggaku yang punya tanaman terong.

“Dia lagi, dia lagi. Kenapa lagi dengan dia?!” tanyaku, tak kalah tegas.

“Dia sekarang ada di kampung saya, dan ponakan saya sekarang hilang setelah dia teriak-teriak tidak jelas dari penjuru kampung.”

“Dia sudah bukan warga kampung sini lagi, itu tak ada urusannya dengan kami!”

“Tapi dia tetap berasal dari sini! Kamu pasti juga tahu bagaimana perasaan saya, mengingat anakmu juga dibawa pergi sama itu nenek bejat!”

“Sekarang ini saya sedang dalam pekerjaan penting! Urusan itu biar nanti saya urus!”

“Sekarang ju-”

“Nanti! Nanti atau tidak sama sekali!” makiku.

Pria itu akhirnya menurut. Ia mau menungguku mendahulukan penyakit ngidam istriku yang kelewat aneh.

“Sekarang jelaskan, ada urusan apa bapak ke mari?!” tanyaku.

Dan pria yang mengenalkan dirjnya sebagai Darnk itu pun, menceritakan semua mimpi buruknya.

Senin, 10 Juni 2019

Halte Misterius



Hari ini, aku pulang larut karena lembur. Sialnya rekanku sudah pulang semua, sementara motorku sedang rusak. Terpaksa, aku harus berjalan kaki. Untung, temanku yang ngekos dekat dengan kantor menijinkanku menginap malam itu. Alhasil, aku tak perlu keluar terlalu banyak uang untuk menggunakan taksi, mengingat hari ini tanggal tua.

Singkat cerita, aku pun berjalan dari kantor, menuju kontrakanya.

Jarak dari kantor ke kontrakan itu hanya berjarak benerapa ratus meter. Aku juga cuman harus melewati jalan raya, tapi sesuatu menghalangi lekas-lekas pergi. Hal itu lantaran kutemukan sosok gadis berdiri sendiri, di sebuah halte, di pinggir jalan. Sebuah pohon cemara berdiri kokoh di sebelahnya.

Hm, jadi dia sedang menunggu bis, ya? Pikirku. Aku sudah setahun kerja di perusahaanku, makanya aku tahu. Sudah tidak ada bis lagi pada jam segitu.

“Nunggu bis ya, Mbak?” tanyaku waktu itu.

Gadis itu tersenyum amat manis, melongok jam tangan di tangannya dan menjawab, “iya nih, mas! Udah nunggu dari tadi nggak juga muncul.”

Aku balas tersenyum. Gadis itu benar-benar cantik, puluhan kali dari mantan tercantik yang pernah datang di hidupku. Lagian mantan juga cuman dua, hhh.

“Orang baru, ya?”

“Kok, tahu?”

(Karena embak telah membaru-barukan hatiku :v)
(Hadeh, emangnya Andre Taulani, wkwkwk)

“Kalau jam segini emang nggak ada bis, Mbak.”

“Duh, gimana dong?”

“Telepon orang terdekat aja, suruh jemput!”

“Udah, tapi datengnya dua jam lagi, mana sepi lagi. Mas mau temenin?”

Aku pun, mengangguk dengan begitu girang. Suasana benar-benar sepi, jantungku pun, berdenyut-denyut. Pikiranku benar-benar kacau entah kemana. Rasanya menunggu setahun pun, rela kujalan asal ada dia di sampingku. Akan tetapi, temanku menelepon karena kos tempatnya sebentar lagi bakalan dikunci. Aku coba memintanya menahan sejam lagi, karena kami baru menunggu sejam lewat sedikit, tapi peraturan di kosnya seperti itu.

Sebenarnya, aku tak keberatan tidur di emperan sekalipun asal bisa lebih lama dengan Si Gadis. Akan tetapi, bagaimana kalau ternyata yang datang menjemput adalah pacar? Apalagi suami? Bisa mati konyol aku. Dengan berat hati, aku pun, pamit undur diri.

“Maaf, Mbak sekali lagi maaf!”

“Beneran nggak mau temenin bentar lagi, Mas?”

“Kos-kosan temen saya udah mau tutup, bisa-bisa saya tidur di emperan.”

Kasihan sebenarnya melihat gadis tadi mengangguk, mengiyakan alasanku. Aku sempat berpikir untuk berbalik. Sampai di kosnya temanku pun, aku masih menyesali kobodohan itu. Maksudku, bagaimana mungkin aku melewatkan gadis secantik itu? Aku bahkan lupa menanyakan alamat rumah, atau lebih cerdas lagi, nomor telepon, tapi apa daya semua telah berlalu.

Keesokan harinya, aku berangkat pagi-pagi bareng temanku, dari kosnya. Tak lupa ku lihat halte kemarin cermat-cermat. Alangkah terkejutnya aku, mendapati tak adanya halte bus semalam. Kalau dipikir-pikir, disana memang tak ada halte.

Tanpa pikir panjang, aku berlari menyusuri jalanan semalam. Kulihat pohon cemara kemarin berdirk di sana, lengkap dengan tempelan poster yang membuatku tak mungkin salah kamar. Yang membuatku heran, di sana terbentang pecahan kaca sepanjang jalan. Trotoarnya pun, hancur seperti sebuah kecelakaan sempat terjadi. Lalu beberapa orang tampak menunjuj tempatku berdiri.

“Yang mati 2!” Begitulah yang kudengar.

“Mati? Mati gimana, pak?! Oh, iya halte semalam ke mana, pak?” tanyaku.

“Halte apa, ya mas?” Si Bapak balik bertanya.

“Ya, halte! Disini semalem ada halte, kok!”

“Di sekitar sini nggak ada halte, mas! Bus, angkot, udah nggak ada sejak jam 4 sore. Ngapain bikin halte?”

“Terus, ini semua apaan, pak!”

“Mas belum denger, ya?” Tanya Si Bapak, dan aku segera menggeleng, “semalem terjadi kecelakaan di sini!” lanjutnya.

“Ah yang bener, pak! Saya masih di sini nyamle jam 9, nggak ada apa-apa, kok!” sanggahku.

“Ya pasti nggak ada apa-apa lah, mas orang kejadiannya jam 10!”

“Astagfirullah!” sebutku.

Bayangkan! Apa jadinya kalaj aku masih menunggu sejam lagi. Bukan cuma tidur di emperan, yang ada bisa tidur selamanya. Dan setelah kuteliti, yang mati juga seorang bapak pengendara motor dan anaknya yang masih kecil. Tefus, siapa wanita yang cantik semalam? Sampai hari ini, hal itu masih menjadi misteri.