Bunyi kentongan mendentam dari utara, membawa ratusan warga mengarah ke ujung desa, dimana sebuah lahan kuburan berada di sana. Aku memimpin penyergapan, menyudutkan sosok wanita tak waras yang terus memeluk boneka menyeramkan bermata coblong itu.
“Mana Hadi, dan semua anak-anak yang kamu culik, ijah!”
“Penthong! Penthong!” Berulang-ulang wanita dekil itu menyebutnya.
Aku semakin geram, nyaris tanganku menyambar muka nenek peyot itu. Beruntung, sejumlah warga menengahi emosiku. Mak Ijah yang ketakutan memeluk sebuah batu nisan di ujung kuburan yang jadi titik temu kami.
“Sabar, pak! Sabar!” Begitulah mereka coba menenangkanku.
“Sabar jidatmu! Dia ini penculik, tak perlu kalian kasihani lagi manusia biadab ini!” makiku.
“Belum tentu, Mak Ijah yang lakukan.”
“Siapa lagi?” sahut Pak Dirham, “kalu dibiarkan, seluruh anak di kampung bakalan habis jadi santapan kebiadabannya!” lanjutnya.
“Betul itu, betul!”
Para warga yang murka mendorong sebagian yang coba menengahi. Pada akhirnya, Pak RW beserta polisi dan Kades mengamankan Mak Ijah. Perkumpulan warga dengan serempak menolak keberadaan Mak Ijah. Usai digelandang ke kantor polisi, dia akhirnya diusir dari desa sebab penolakan bergejolak, sampai ke ujung desa.
Mak Ijah akhirnya pergi, sementara bukti keterlibatan Si Mak Lampir tak jua ditemukan. Semenjak itu pula, kasus penculikan di Kampung Selendang akhirnya berhenti. Akan tetapi, keberadaan Hadi dan Witan juga tak pernah ditemukan.
Beberapa bulan kemudian, datang seorang pria paruh baya ke rumahku. Istriku sedang hamil muda sementara tamu tak diundang itu memaksa masuk. Ia terus berteriak-teriak meminta kehadiranku, sementara aku masih puyeng dengan permintaan ngidamnya yang aneh-aneh. Mulai dari disuruh menggenjot sepeda Pak Kadus, mangga muda, sampai rebusan terong yang jadi permintaan terakhirnya yang belum kesampaian.
Terong bisa kutemukan dengan mudah dengan berjalan sedikit ke ladang tetangga, tapi itu artinya. Aku harus keluar menemui pemilik ladang. Otomatis, pria itu pasti akan menemukanku dan masalah bakalan semakin runyam.
“Kamu tahu, ke mana Mak Ijah sekarang?!” seru pria itu, mencegatku pergi menemui Pak Ilham, tetanggaku yang punya tanaman terong.
“Dia lagi, dia lagi. Kenapa lagi dengan dia?!” tanyaku, tak kalah tegas.
“Dia sekarang ada di kampung saya, dan ponakan saya sekarang hilang setelah dia teriak-teriak tidak jelas dari penjuru kampung.”
“Dia sudah bukan warga kampung sini lagi, itu tak ada urusannya dengan kami!”
“Tapi dia tetap berasal dari sini! Kamu pasti juga tahu bagaimana perasaan saya, mengingat anakmu juga dibawa pergi sama itu nenek bejat!”
“Sekarang ini saya sedang dalam pekerjaan penting! Urusan itu biar nanti saya urus!”
“Sekarang ju-”
“Nanti! Nanti atau tidak sama sekali!” makiku.
Pria itu akhirnya menurut. Ia mau menungguku mendahulukan penyakit ngidam istriku yang kelewat aneh.
“Sekarang jelaskan, ada urusan apa bapak ke mari?!” tanyaku.
Dan pria yang mengenalkan dirjnya sebagai Darnk itu pun, menceritakan semua mimpi buruknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar