Pagi kala itu, Iwan berangkat sekolah dengan begitu sumringah. Padahal kemarin dia baru saja menangis seharian gara-gara ibu tak jadi membelikannya mainan yang ia idam-idamkan. Harusnya, aku saat itu segera sadar, akan keanehan ini.
Sungguh, dia cuman adik lugu yang berada di masa rewel-rewelnya. Walau kerap kali berulah, keimutan dalam dirinya sama sekali tak berkurang. Namun siapa sangka, bocah tak berdosa itu harus meregang nyawa begitu cepat. Dia bahkan dikuburkan dengan sebuah keganjilan. Dua buah lembaran uang 20 ribuan dan beberapa pecahan lain, dikubur bersamaan dengannya.
Menceritakan ini bagiku serasa menyiram luka dengan air garam. Perih rasanya bilamana wajahnya yang pucat terkenang kembali. Matanya yang terpejam tak akan pernah lagi terbuka, dan senyum kala sebiji permen seharga 500 perak itu kuberikan tak akan lagi terulang. Semua hanya karena demam aneh yang tak kunjung reda 3 hari lamanya. Naas, Iwan tak bisa melawan penyakit dadakan ini.
Seperti kataku, dia berangkat sekolah dengan sumriminga pagi itu. Aku yang sudah SMA hanya bisa cemberut. Pasalnya, aku yakin ibu pada akhirnya membelikan dia mainan lagi. Padahal, kebutuhan keluargan kala itu sedang mepet.
Mainan seharga 50 ribu harusnya barang yang termasuk tak perlu, mengingat keungan kami yang berada di ujung tanduk. Tanggal sudah tua sementara gaji ayahku belum cair. Jika biasanya semua akan baik-baik saja, hari itu berbeda. Minggu lalu kami baru saja menggelar acara selamatan setelah ayahku membeli motor baru.
Ironisnya, karena acara itu uang kami akhirnya habis, dan terpaksa menghemat, hingga minggu depan. Pasalnya ibuku adalah tipe orang yang lebih memilih tidak makan, dibanding harus berhutang. Akan tetapi saat kuusut, ibuku ternyata tak pernah membelikan Iwan mainan tersebut. Disinilah keanehan terjadi dimana kutemukan mainan mobil-mobilan yang diidamkan Iwan, tepat seusai acara 3 hari kematiannya.
Aku bermaksud mengambil buku untuk menghitung peralatan yang kami pinjam, sekaligus mempersiapkan uang kas. Mulai dari piring, gelas, sampai baki yang kami gunakan merupakan milik RW sebelah yang lumrahnya ngamplopin, walau seiklasnya.
Kamarku kala itu penuh tamu lalu kupikir, Iwan pasti punya buku mengingat dia juga anak sekolahan, tepatnya kelas 3 SD. Di sana (kamar Iwan,) kutemukan tas gendong hitam tergeletak di lantai begitu saja. Alangkah terkejutnya aku begitu menemukannya (mainan yang diminta Iwan,) di dalam sana (tas.) Aku sontak berlari, menemui ibuku dan berseru, “ini apa, mak?!”
“Aldi, kamu nemu ini di mana?” beliau balik bertanya.
“Di mana lagi kalau bukan di kamar Iwan?”
“Kamu yang beliin ini?”
“Nggak usah banting setir deh, mak! Aldi mana sanggup, beli mainan semahal ini pake uang saku Aldi!”
“Terus yang beliin ini siapa?”
“Bapak yang belikan itu. Udah, deh! Jangan ribut di sini, malu!” lerai Ayahku.
Saat itu aku hanya bisa diam. Benar yang beliau katakan, malu! Terlebih, ini masih dalam suasana duka. Perdebatan kami seolah menjerumuskan Iwan menuju sebuah perbuatan tercela (ngutil.) Padahal bapak yang belikan itu.
Harusnya begitu, sampai cerita lain kudengar dari teman sekelasnya.
...
Mundur lagi dua hari sebelum Iwan tiada. Sore itu, Iwan yang ngambek pasca batal dibelikan mainan tak mau beranjak dari kamar. Ayah yang naik pitam lalu memaksa Iwan bersngkat mengaji. Pemandangan itu amat menyedihkan bagiku. Sampai-sampai, aku malu melihatnya. Dengan terus mengusap air mata, Iwan akhirnya berangkat. Sehabis itulah sikap Iwan tiba-tiba berubah.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Nang?” tanyaku pada teman adikku.
“Iwan nemu uang 100 ribu, Mas!” jawabnya.
“Hah!”
Alangkah terkejutnya aku, mendengar itu, tapi di lain sisi. Ini menjelaskan bagaimana mainan itu berada di sana. Iwan sudah berulang kali pergi ke mal, dan kurasa dia tak akan ketakutan bila berangkat ke sana sendirian. Apalagi ditemani oleh temannya. Akan tetapi, ayah sudah berkata kalau dirinyalah yang membelikan Iwan mainan itu. Dengan praduga yang semakin buruk, aku bertanya lagi, “terus, uang itu dikemanain, Nang?”
Danang tampak ketakutan, lalu kulihat ibunya melotot. Kurasa, dugaanku bila keduanya pergi bersama itu tepat sasaran.
“I-Iwan pergi sama Danang buat beli mainan, Mas!” jawab Danang, bocah yang kutanyai tersebut.
“Astaga, Iwan! Terus gimana, apa kamu juga ikut-ikutan?”
“Enggak kok, Di! Untungnya Danang cuman nemenin doang! Duit Iwan kurang buat beliin danang juga, makanya rencananya mereka baru mau beli keesokannya,” sahut Ibunya Danang.
Aku segera terkenang akan lembaran jang yang dikubur bersamaan dengannya (jenazah Iwan.) Dan hari sesudah itu (Iwan membeli mainan) dia langsung jatuh sakit. Dalam hati, aku hanya bisa bersyukur karena tak perlu ada lagi korban lain.
...
Di sini ane ambil alih, “Duit Pasangan,” begitulah kisah ini dikenal. Sesorang sengaja meletakkan uang dengan pecahan bermacam-macam. Tujuannya cuman satu, mendapatkan tumbal secara instan. Cerita tentang orang-orang yang sakit, bahkan meninggat tiba-tiba usai menikmati uang ini masih terus bermuculan hingga hari ini. Kisah terselubung menyatakan bahwa ini merupakan praktek pesugihan klasik yang masih berlanjut sampai hari ini.
Untung aja ane jarang nemu duit. Lagian sekalinya nemu, besoknya langsung ilang. Nemunya 5.000 ilangnya bisa nyampe 50.000 lagi. Sering ane ngarepin ada benda jatuh yang nongol di depan ane, tapi ada baiknya. Mulai sekarang ane bersyukur karena jarang nemu. Siapa tahu, itu ternyata jebakan batman macam gini? Anjir, Hhh :v
Konon, kita bisa pastiin itu duit pure duit orang apes, atau jebakan batman, dengan cara ngubur semalem duit yang kita temuin. Kalau masih ada atau nggak berubah wujud, berarti itu rejeki nomplok, tapi alau ternyata ilang atau berubah wujud. Berarti ada orang yang ngambil, atau gantiin tuh duit oke barang lainnya,
Hhh bercanda mbah. ✌
...
“Salam Rempah.”